Pertama, mitos yang
bercerita tentang dewa-dewi. Di etnis tionghoa, dewa-dewi memainkan peranan
utama dalam cara berpikir masyarakat tionghoa. Di satu sisi, mitos dewa-dewi
ini menjadi pusat keyakinan orang-orang tionghoa untuk disembah. Di sisi lain,
mitos dewa-dewi juga menjadi sistem nilai yang mengatur kehidupan masyarakat
tionghoa. Contohnya, di provinsi Hebei di China Utara ada sebuah istina besar
dewi Nuwa yang dibangun pada zaman dinasti Ming. Setiap bulan Maret tanggal 15
sampai 18 diadakan festival. Banyak orang dari pelbagai desa dan kota
mengunjungi kotaraja untuk sembahyang dewi Nuwa. Mereka bukan hanya sekedar
sembahyang, tetapi juga menaikkan doa dan permohonan agar segala usaha yang
mereka lakukan sepanjang tahun diberkahi dengan rezeki dan keselamatan. Selama
festival berlangsung, mitos dewi Nuwa dikisahkan oleh para narator bagi
pengunjung yang hadir. Selain itu juga dikisahkan beberapa testimoni yang
diambil dari legenda rakyat. Para narator mengisahkan mitos tersebut sebagai
bukti akan keampuhan dan kemahakuasaan dewi Nuwa.
Salah
satu legenda rakyat yang terkenal adalah legenda tentang menantu perempuan yang
berbakti terhadap ayah mertuanya. Setiap malam di musim dingin, sang menantu
perempuan menghangatkan selimut bagi ayah mertunya. Gosipun beredar dan
tersebar bak virus mematikan di kalangan warga bahwa terjadi skandal terlarang
antara mertua dengan menantu. Untuk membuktikan kemurnian menantu, dia pergi ke
kuil dewi Nuwa untuk meminta keadilan. Perempuan tersebut melompat dari atap
kuil ke dalam panci pedupaan besar. Yang menarik dari cerita ini adalah si
perempuan tersebut tidak terluka sama sekali. Kejadian tersebut menggemparkan
warga setempat dan secara otomatis rumor itupun hilang. Kesaktian dewi Nuwa
yang mengabulkan permohonan perempuan tersebut bergema sampai ke seluruh
pelosok di daratan China.
Selain
dewi Nuwa, ada juga mitos dewi Ganmu yang disembah oleh etnis tionghoa. Dikisahkan
bahwa orang-orang Naxi di provinsi Yunnan menyembah dewi Ganmu sebagai dewi
kesuburan. Setiap 25 Juli penanggalan tionghoa, masyarakat Naxi melakukan
upacara kurban bagi dewi Ganmu. Di samping itu juga ada dewi Zihong Jiemei yang
dipercayai sebagai dewi khayangan di mana ia menikah dengan seorang manusia
fana. Mereka berdua inilah yang akhirnya menjadi leluhur atau nenek moyang
manusia. Itu sebabnya setiap bulan Oktober penanggalan tionghoa diadakan
upacara kurban untuk mengenang mereka berdua.
Kedua, mitos yang
tersembunyi dalam karya sastra dan seni. Pelbagai mitos etnis tionghoa berakar
pada kesusasteraan dan seni. Mitos memberikan kontribusi besar bagi para
sastrawan dan seniman. Dalam sejarah sastra China, banyak sekali penyair dan
penulis terkenal terinspirasi oleh mitos tersebut, seperti: Qu Yuan, Tao
Yuangming (365-427 B.C.), Li Bai (701-762), Li He (790-816); Wu Cheng’en
(1500-1582 A.D); Cao Xueqin (1715-1763); Lu Xun (1881-1936); Guo Moruo
(1892-1978) dan lain sebagainya. Mereka ini mengadopsi mitos secara langsung
sebagai bahan baku dalam penulisan mereka. Beberapa di antara mereka mengambil
sisi fantasi dari mitos-mitos yang ada untuk menulis karya fiksi. Ada juga yang
menggunakan mitos untuk mendesain suatu karya seni. Dengan cara ini mereka
memperoleh kemajuan dalam mengembangkan kesusasteraan dan kesenian China.
Selain
menjadi bahan baku kesusasteraan dan seni, mitos dipakai juga oleh media
elektronik sebagai tujuan propaganda sistem nilai dan moralitas bagi generasi
muda untuk dipelajari dan diteladani. Salah satu film anak-anak yang diadopsi
dari mitologi adalah Kuafu. Mitos ini mengisahkan kepahlawanan Kuafu melawan
dewi Shiji Niang-Niang. Dewi Shiji Niang-Niang bermaksud menghancurkan umat
manusia dengan cara memusnahkan matahari. Sebagai gantinya, Kuafu harus
mengorbankan nyawa karena dehidrasi dan keletihan berat. Bencana pun terhenti
dan Kuafu berevolusi serta bersembunyi di hutan. Hanya dengan cara itu, Kuafu
bisa terus-menerus melanjutkan perjuangannya untuk menolong umat manusia. Mitos
ini diadopsi oleh salah satu stasiun TV di China untuk dijadikan tontonan
anak-anak. Tujuannya adalah agar kesadaran dan mentalitas anak-anak tentang
nilai keadilan dan keyakinan bahwa kejahatan pada akhirnya akan kalah terbentuk
dalam diri mereka. Mitos ini juga dipakai sebagai sarana untuk membangun
semangat dan akhlak.
Ketiga, mitos yang terserap
dalam kehidupan keseharian etnis tionghoa. Pelbagai mitos diciptakan di era
arkhais dan ditransmisikan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun. Proses
transmisi tersebut membuat mitos melekat dalam keseharian masyarakat tionghoa.
Mitos tanpa disadari membentuk sikap, watak dan mentalitas individu terhadap
dunia. Mitos juga memberi makna dan model dalam kehidupan kekinian. Ada
beberapa etnis tionghoa yang makan daging anjing. Bagi mereka hal itu adalah
sesuatu yang wajar. Tetapi ada beberapa etnis di China, seperti etnis Yao dan
She, yang tabu memakan daging anjing. Asal mula larangan ini bersumber dari
mitos Panhu. Panhu adalah anjing dari dewa Di Ku. Di Ku adalah kaisar langit.
Selama dalam peperangan, Panhu membawa kepada musuh untuk dipersembahkan kepada
Di Ku. Lewat bantuan Panhu, Di Ku memenangi peperangan. Sebagai imbalannya,
Panhu dinikahkan dengan anak perempuan Di Ku. Panhu membawa putri raja langit
ke pegunungan Selatan di China. Disanalah mereka berdua beranak-cucu. Itu
sebabnya semua keturunan Yao dan She dilarang makan daging anjing karena mereka
menyembah Panhu sebagai leluhur dan pelindung suku mereka. Panhu diberi gelar
oleh mereka dengan sebutan Raja Pan. Konsekuensi bagi mereka yang melanggar
adalah orang tersebut harus mempersembahkan seekor babi bagi kepada Panhu
sebagai wujud permintaan maaf. Untuk itu ada ritual yang harus dilakukan oleh
orang yang melanggar. Sebelum upacara kurban dimulai, mereka harus memotong
babi tersebut dan mereka harus mandi dengan darah babi.
Keempat, mitos
terejahwantahkan dalam semangat etnis tionghoa. Salah satu sifat gigih etnis
tionghoa terambil dari mitos Jingwei. Jingwei adalah Nu Wa (bukan dewi Nuwa)
yang merupakan anak perempuan Yan Di’s (the
Flame Emperor). Dikisahkan ketika itu Nu Wa bermain di Laut Timur dan ia
tenggelam. Sejak saat itu Nu Wa tidak pernah pulang ke khayangan. Nu Wa
berevolusi menjadi burung kecil yang bernama Jingwei. Jingwei bertekad untuk
mengisi lautan dan setiap hari dia membawa kerikil atau ranting dimulutnya dan
dijatuhkannya ke Laut Timur. Jingwei menjalani harinya dengan cara seperti itu
tanpa pernah bertanya apakah impiannya itu mungkin terjadi atau sebaliknya
menjadi kesia-siaan. Di kemudian hari cerita ini berkembang menjadi kisah yang
menginspirasikan banyak orang-orang tionghoa. Orang-orang tionghoa zaman dulu
bersimpati dengan kemalangan Jingwei dan sekaligus mengagumi keberanian,
ketangguhan dan kesabarannya. Mitos ini sering dipakai oleh mereka untuk
memotivasi seseorang agar jangan mudah menyerah bagaimanapun sulitnya kenyataan
yang harus dihadapi.
Jika
dilihat dari pemikiran Mircea Eliade tentang mitos maka menjadi lebih jelas
bahwa mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual,tetapi juga memiliki
nilai spiritual yang berhubungan dengan Yang Ilahi. Bagi masyarakat arkhais,
mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita itu menjadi milik mereka yang
paling berharga. Bagi mereka, mitos memiliki makna dan mereka menjadikan mitos
sebagai model dalam pemberian makna di kehidupan mereka. Mitos juga melukiskan
peristiwa primordial in illo tempore yang
mempunyai dampak pada masa kini sehinnga keadaan dunia dan manusia menjadi
seperti sekarang ini. Di sini terlihat bagaimana mitos memiliki kekuatan
pewahyuan akan realitas yang sakral. Untuk itu mitos memakai objek-objek
material, aktivitas dan bahasa profan manusia. Mengidungkan mitos juga berarti
membangkitkan kekuatan kreatif yang menjadi pendasaran eksistensi manusia di
dunia dalam pencarian makna atau arti hidup.
0 komentar:
Posting Komentar